Tuesday 3 July 2007
Pram di Playboy
Sosok kontroversial yang membawa nama Indonesia ke peta sastra dunia ini bercerita soal hiruk pikuk hidupnya adalah tantangan sport, perempuan Cina, seks, dan nikmatnya membakar sampah.

Kelahiran 6 Februari 1925 ini amat mengimani kerja. Menganggap kerja sebagai eksistensi abadi bagi manusia. Dan di hati Pramoedya Ananda Toer kerja adalah menulis. Maka menulislah ia. Dalam Rumah Kaca Pram pernah mencatat: ‘.. gairah kerja adlalah pertanda daya hidup, selama orang tak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut…’ Merokok tanpa putus sejak umur 15 tahun, lahirlah tetralogi yang legendaris itu [Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, dan Jejak Langkah]. Juga judul judul seperti Mangir, Arok Dedes, Arus Batik, Nyanyi Sunyi SeorangBisu dan banyak lagi. Semuanya memiliki kesamaan: menggetarkan dunia. Nominasi Nobel bidang sastra beberapa kali mencatat namanya.

Pengalaman hidupnya seolah ditakdirkan dramatis [layaknya orang-orang besar]. Pernah jadi pihak yang menekan saat Lekra [Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi kesenian underbow PKI] berjaya. Lantas tersuruk jadi tahanan politik selama 14 tahun 2 bulan tanpa pengadilan disusul status tahanan rumah. Juga menyaksikan dengan sesak karya dan harta literaturnya dibakar militer [sampai kini dia masih tak mengerti, karena merasa dasarnya menulis adalah satu: kermanusiaan]. Pun pelarangan terhadap tulisan-tulisannya.

Karya-karya Pram tak banyak mengutak-atik keindahan bahasa, longgar, dan kerap kelam meski tengah mengekspresikan keriaan hidup, seperti seks. Dalam penutup satu bab di Bumi Manusia, Pram menulis perasaan Minke tentang persetubuhannya dengan Annelies: “Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan telah memaksa kami jadi sekelamin binatang purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang gumpalan hitam tidak memenuhi antariksa hatiku. Dan kami berpelukan kembali seperti boneka kayu.”

Sebagai penulis Pram menganggap keindahan terletak pada kemanusiaan, perjuangan untuk kemanusiaan dan bebas dari penindasan. Bukan dalam mengutak-atik bahasa.

Sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Jangan lupa itu! Sejak tahun belasan, di negeri Belanda, menjalar ke Indonesia. Puncaknya di Sumpah Pemuda. Itu titik tolak negara kita.

Ayah saya Direktur Sekolah Boedi Oetomo. Saya sekolah di situ. Untuk tamat tujuh kelas, saya memerlukan sepuluh tahun. Tahu perasaan dia terhadap anaknya? Mengecewakan lah.

Tidak punya dendam saya. Kalo punya dendam jadi beban lagi. Saya kehilangan apa saja, tidak merasa kehilangan. Rumah dirampas, perpustakaan dibakar, delapan naskah dibakar.

Pengagum sastrawan Gunther Grass dan John Steinbeck ini mengaku begitu produktif berkarya karena merasa tidak akan berumur panjang. Kenyataannya pada usia 81 tahun dia masih mengepulkan asap rokok saat ditemui Feature Editor PLAYBOY Alfred Ginting dan Soleh Solihun, di rumahnya yang asri, di kawasan Bojong Gede, Jawa Barat. PLAYBOY ditemani Happy Salma yang sore itu membawakan sebotol wine untuk penulis yang dikaguminya itu. Setiap malam Pram menenggak satu dua sloki wine demi kesehatan jantungnya.

Seperti yang sudah-sudah wawancara ini kembali banyak menjelajah sikap politik Pram, tidak seperti keinginan kami untuk membongkar sikap sastranya. Pram sulit diajak untuk mengomentari karya-karyanya. Pram menganggap karya-karya itu sebagai anak-anak jiwanya. Mereka bebas terbang lepas setelah didewasakan oleh pena dan mesin tiknya. Selain itu usia membuat Pram berjarak dengan masa lalu kepengarangannya.

Di rumah - hasil dari royalti bukunya yang telah diterjemahkan ke 42 bahasa - Pram tak lagi banyak bekerja. Sudah sepuluh tahun dia tidak menulis, semangatnya dipatahkan umur tubuhnya. Saban hari dia bangun jam lima pagi, mengumpulkan kliping berita koran bertema geografi untuk cita-citanya yang tidak akan terwujud - menyusun apa yang dia sebut Ensiklopedi Kawasan Indonesia, sesekali menerima tamu, melihat-lihat ternak ayam dan angsanya, dan membakar sampah.

Pada meja bundar di ruang tamu rumahnya, Prain menjawab pertanyaan PLAYBOY. Di meja itu bertumpuk sejumlah buku. Yang menarik perhatian adalah fotokopi novel Gulat di Djakarta yang akan diterbitkan kernbali oleh penerbit Lentera Dipantara. Pram mengenakan polo shirt lusuh, celana training biru dan sandal jepit. Kaos kaki sepakbola berwarna hijau menutup ujung kaki celananya. “Dingin kaki saya,” kata dia. Pram masih menunjukkan kekukuhan dalam argumentasi dan pemakluman atas sikapnya. Seperti tentang pendiriannya terhadap Soekarno sebagai pemimpin yang berhasil mempersatukan bangsa Nusantara tanpa meneteskan darah. Padahal di zaman rezim Soekarno dia ditahan karena menulis Hoakiau di Indonesia. “Yang memenjarakan saya itu militer. Bukan Soekarno,” tegasnya.


PLAYBOY: Di film Jalan Raya Pos, Anda mengatakan tidak yakin akan berumur panjang. Ternyata, sekarang berumur 81 tahun, bagaimana perasaan Anda?

PRAMOEDYA: Tahun ‘50, TBC mcmbunuh ayah, ibu, adik, nenek, ipar, kemenakan saya. Waktu itu belum ada obatnya. Yang tahu, obatnya kapur saja. Untuk menutupi luka. Jadi, sudah sejak sangat muda, sudah berhadapan dengan maut. Dan saya sebagai anak tertua dengan tujuh adik menanggung semuanya.
Ada seorang professor mengatakan, ‘Kau nanti juga kena [TBC].’ Tapi ternyata, sampai sekarang nggak ada apa-apa. Saya nggak ada penyakit parah, cuma kesulitannya kalau nggak bisa tidur, itu lantas jatuh, drop saja. Nggak pernah menyangka. Keluarga saya praktis mati karena TBC. Saya nggak pernah ketularan. Sepanjang hidup saya heran, kok bisa sampai 81.

PLAYBOY: Masih punya mimpi?

PRAM: Saya nggak punya mimpi apa-apa. Masalah saya sekarang, hanya mati saja. Saya sudah sepuluh tahun nggak menulis. Juga nggak jawab surat. Ini sudah nggak bekerja [menunjuk kepala]. Sudah pikun.

PLAYBOY: Mimpi untuk menuliskan kembali proyek yang dulu sempat dimusnahkan, seperti Ensiklopedi Indonesia?

PRAM: Ya, kliping saya sudah 8 meter panjangnya. Tapi biayanya melanjutkannya nggak ada. Nggak ada pemasukan yang beres. Paling sedikit lima orang diperlukan. Kalau satu orang dua juta, sepuluh juta satu bulan. Dari mana sumbernya? [tertawa].

PLAYBOY: Anda angkatan’45. Kalau nanti dimakamkan di Taman Makam Pahlawan bagaimana?
PRAM: Ah saya nggak mengharapkan begitu-begituan. Mau dibakar kek, mau dibuang kek, nggak soal.

PLAYBOY: Anda siap menghadapi kematian?
PRAM: Sejak muda, saya siap mati di manapun dan kapan pun. Nggak ada soal. Jadi, nggak punya beban tentang mati.

PLAYBOY: Tidak ada yang Anda lakuti dalain hidup?

PRAM: Saya anggap sebagai tantangan sport. Tidak punya dendam saya. Kalo punya dendam jadi beban lagi. Dianggap berani atau nggak, saya nggak tahu [tertawa]. Saya kehilangan apa saja, tidak merasa kehilangan. Rumah dirampas, perpustakaan dibakar, delapan naskah dibakar. Ini sampai rumah dijaili. Apanya yang salah, saya tidak tahu.

PLAYBOY: Kadar gula Anda masih tinggi?

PRAM: Oh, gula saya memang tinggi. 460. Tapi saya obati dengan bawang putih. Setiap suap makan, gigit bawang putih, jadi semua luka kering sendiri. Jadi, dagingnya nggak membusuk. Dan saya anjurkan itu untuk yang sakit gula. Saya kan juga latihan pernafasan kalau mau tidur. Tarik nafas sampai penuh, tambah lagi. Itu sportnya. Tahan baru buang. Belajar dari pengalaman saja. Mulai umur belasan tahun, setelah pisah dari keluarga.

HAPPY SALMA: Anda sepertinya punya harapan besar terhadap generasi muda?

PRAM: Betul. Soalnya sejarah Indonesia itu sejarahnya angkatan muda. Jangan lupa itu! Sejak tahun belasan, di negeri Belanda, menjalar ke Indonesia. Puncaknya di Sumpah Pemuda. Itu titik tolak jadinya negara kita. Saya anjurkan yang punya perhatian pada sejarah, susunlah sejarah Sumpah Pemuda sampai jadi buku wajib. Sejarah Indonesia, praktis nggak karuan diajarkannya. Saya percaya, sejarah Indonesia itu sejarah angkatan muda. Angkatan tua itu jadi beban.

PLAYBOY: Tapi sejarah Indonesia akhir-akhir ini harus diwarnai ancaman disintegrasi, seperti keinginan masyarakat Aceh dan Papua untuk memisahkan diri?
PRAM: Itu memang dialektika sejarah. Kalau ada yang baik, ada yang buruk. Ada persatuan, ada perpecahan. Hidup berkembang bersama-sama pasti ada yang namanya dialektika.

PLAYBOY: Soal gerakan pemuda, Anda sempat bergabung dengan PRD [partai Rakyat Demokratik]. Sementara, gerakan pemuda sekarang terlihat melempem. PRD sendiri lidak terlihat arah organisasinya?

PRAM: Itu pimpinannya. Ketua organisasi itu, harus hidup, tumbuh, berkembang hersama partainya. Ini ketuanya [Budiman Soedjatmiko] lari, masuk ke PDI. Dia mesti mimpin partainya, ini malah sekolah ke Inggris. Sckolah itu kan Jalan untuk jadi pegawai. Untuk mimpin partai nggak perlu sekolah. Bangkit, jatuh, bangun, berkembang bersama partainya. Yang benar itu.

PLAYBOY: Tapi pendidikan dianggap penting bagi kepemimpinannya?

PRAM: Ah tidak. Kepemimpinan ya dari partainya itu, berpengalaman sejak awal sampai berkembang. Itu nggak perlu sekolah. Belajar dari keadaan. Menjadi pemimpin partai itu nggak perlu sekolah. Belajar dari keadaan. Sekolah saya, SMP kelas 2 nggak tamat, tapi kok jadi doktor? [tertawa].

PLAYBOY: Anda pernah menyebut Jimmy Carter berperan dalam pembebasan Anda. Itu bagaimana ceritanya?

PRAM: Itu Carter meminta supaya tahanan Pulau Buru dibebaskan. Kalau nggak, bantuan Amerika akan dihentikan untuk Indonesia.

PLAYBOY: Jadi, bisa dibilang Anda diselamatkan Amerika?

PRAM: Ya memang Amerika. Tapi juga Amcrika juga yang waktu Presiden Enisenhower yang memerintahkan supaya Soekarno disingkirkan. Eisenhower ngomong begitu setelah babak belur di Vietnam. Ada masalahnya itu. Lantas dia perintahkan, singkirkan Soekarno! [tertawa].

PLAYBOY: Anda sudah beberapa kali disebut sebagai kandidat Nobel, tapi belum jadi kenyataan juga.

PRAM: Yang jadi kandidat itu kan empat orang yang terakhir. Satu orang dapat, saya nqgak. Saya nggak tahu.

PLAYBOY: Apa itu ada hubungannya dengan sikap politik Anda dulu sebagai tokoh Lekra?
PRAM: Itu hak saya punya pandangan politik.

PLAYBOY: Tidak pernah berpikir, kalau mendapat Nobel itu bentuk pencapaian Anda sebagai penulis?

PRAM: Kalau dapat itu, berarti penghargaan dunia. Itu saja.

PLAYBOY: Tidak pernah bermimpi, ingin dapat Nobel sebelum meninggal?
PRAM: Nggak.

PLAYBOY: Jadi, penghargaan tertinggi dalam hidup buat seorang Pram?

PRAM: Penghargaan sudah saya dapat di mana-mana. Orang baca karya saya saja, sudah suatu penghargaan.

PLAYBOY: Dari semua karya Anda, yang merupakan pencapaian terbesar yang mana?

PRAM: Nggak tahu saya. Itu publik yang menentukan.

PLAYBOY: Dalam karya Anda, banyak figur perempuan yang menentang garis. Itu memang gambaran Anda tentang figur perempuan modern?

PRAM: Itu inspirasi dari ibu saya sendiri. Ibu saya meninggal sangat muda, umur 34. Suatu kali, waktu saya masih di SD, panen jagung di luar kota, saya dipanggil ibu. Kalau serius, ibu saya ngomongnya dalam bahasa Belanda. Jauh lebih bagus dari saya. Dia pesan, ‘Engkau nanti harus belajar di Belanda sampai doktor.’ Itu beliau ngomong waktu saya masih SD dan miskin sekali. Itu pesannya. ‘Jangan sampai kau minta-minta sama orang. Pada siapapun! Jangan minta-minta. Selesaikan tugas dan kerjamu dengan tenagamu sendiri. Jangan minta-minta bantuan!’ Itu pesan ibu saya. Kenyataannya lain. Lulus SD, masuk SMP, Jepang datang, bahasa Inggris dilarang. Sampai [kelas] 2 SMP saya sekolah, itu pun nggak tamat, karena dibubarkan Jepang. Jadi, nggak pernah mendapat pendidikan bahasa Inggris. Setelah Jepang pergi, saya nggak bisa ke perguruan tinggi. Bahasa Inggrisnya tidak bisa [tertawa].

PLAYBOY: Di masa itu apa artinya jadi doktor?

PRAM: Ilmu pengetahuan. Jadi mencukupi sebagai orang terpelajar. Kalau belum dapat gelar, ya belum [tertawa].

PLAYBOY: Tokoh Minke dibuat berdasarkan riset Anda tcrhadap tokoh pers Tirtoadisuryo. Apa tokoh perempuan di sekitarnya memang dinspirasi dari perempuan di dunia kenyataan?

PRAM: Itu simbolik saja. Supaya jadi anutan pembacanya. Saya mengharapkan wanita itu lebih maju daripada sekarang ini. Karena dia yang mendidik bangsa. Waktu saya masih kanak-kanak, ibu-ibu itu memproduksi. Ada yang membatik, ada yang nenun, bikin sabun segala macam. Kok, sekarang nggak ada? Tidak berproduksi wanita, tampaknya ya. Waktu saya kecil, ibu saya nenun, bikin batik, segala macam, buat kecap, sabun, dijual. Jarang terjadi sekarang ini di rumahtangga. Sehingga jadi bangsa yang konsumtif, tidak produktif. Akibatnya melahirkan benua korupsi. Malah orang menjadi kuli. Untuk menjadi kuli itu, bayar mereka. Sampai Jerman mengatakan, Indonesia itu bangsa kuli di antara bangsa-bangsa dunia.

PLAYBOY:Apa arti perempuan buat Anda?

PRAM: Kalau saya melihat rbu saya, beliau yang membentuk saya jadi begini ini. ‘Jangan minta-minta. Selesaikan semua tugasmu dcngan kekuatanmu sendiri!’ Luar biasa! Dalam keadaan miskin [tertawa].

PLAYBOY: Begitu juga cara Anda mengarahkan anak Anda?

PRAM: Kalau untuk saya, silakan kerjakan apa yang dimaui. “Tapi, tanggungjawab pada perbuatan sendiri. Cuma itu pesan saya. Bahkan jadi bandit pun silakan. Tapi tanggungjawab atas perbuatan sendiri. Jangan nyorong pada orang lain untuk tanggungjawab. Seperti Harto nanti [tertawa]. Nggak pernah bertanggungjawab pada perbuatan sendiri.

PLAYBOY: Dari tadi, cerita soal ibu terus. Lantas, bagaimana sosok ayah di mata Anda?

PRAM: Minus. Ayah saya itu Direktur Sekolah Boedi Oetomo. Saya sekolah di situ. Unluk tamat tujuh kelas, saya memerlukan sepuluh tahun. Tahu perasaan dia kan jadinya, terhadap anaknya? [tertawa]. Mengeccwakan dia lah.

PLAYBOY: Karena Anda nakal?

PRAM: Sampai tua saya nggak hisa main gundu [tcrtawa]. Sampai tua, nggak bisa menaikkan layang-layang. Nggak sempat main. Kerja terus. Saya menulis untuk diterbitkan. Untuk dapat uang. Habis, dari mana uang? Melihara kambing juga, nyariin makan scgala macam. Lantas dihina oleh murid-murid sekolah
pemerintah. Saya pernah mengadu sama ibu saya ‘Bu saya dihina sama orang-orang sekolah pemerintah.’ ‘Kenapa kau dihina? Kamu berani kerja, mereka nggak.’ Ibu saya bilang. ‘Udah biar saja.’

PLAYBOY: Ayah Anda direktur sckolah tapi masih kesulitan keuangan ya?

PRAM: Direktur itu gajinya 17 Guldcn setiap bulan.

HAPPY: Katanya anda sering membuat perempuan bule patah hati, benar?

PRAM: Banyak [tertawa]. Biasanya mahasiswi. Setiap negara, saya punya pacar. Begitulah.

PLAYBOY: Pacar yang bagaimana? Yang sehari kenal?

PRAM: Iya [tertawa]. Ada yang mau ikut saya segala macam. Nyusul segala. Anak-anak Jerman itu…

HAPPY: Kenapa? Karena Anda ganteng atau pintar merayu?

PRAM: Nggak tahu [tertawa].

PLAYBOY: Kalau mendengar kata seks, apa yang terlintas di benak Anda?

PRAM: Kalau sekarang sih, nggak ada apa-apa. Kalau dulu, kebakaran [tertawa].

HAPPY: Saya jadi tergila-gila Kartini karena Anda. Kalau Anda kenapa tergila-gila Kartini?

PRAM: Kartini? Mestinya saya punya empat jilid tulisan tangan Kartini. Dibakar sama militer. Tulisan itu hasil studi lapangan. Menemui saudara-saudaranya. Malah saya punya buku keluarga, masih lulisan Jawa. Itu dibakar semuanya. Kartini, itu orang luar biasa. Mendirikan sekolah dengan tenaga sendiri. Dia satu-satunya perempuan dengan pendidikan barat, waktu itu.

PLAYBOY: Tapi akhirnya dia menyerah pada keadaan, kawin dengan Bupati.

PRAM: Dia harus mendengarkan kemauan keluarga. Dan keluarga disuruh oleh Residen. Biasa waktu itu.

HAPPY: Menurut Anda, perempuan itu yang penting cantik atau pintar?

PRAM: Bagaimana dia membentuk dirinya saja. Belajar hidup.

PLAYBOY: Dalam Mereka yang Dilumpuhkan, Anda menulis perempuan Sunda harganya paling tinggi. Maksud Anda?

PRAM: Itu karena perkebunan-perkebunan teh Jawa Barat banyak dikuasai Bclanda. Akhirnya anak-anaknya banyak yang jadi Indo [setengah bule].

HAPPY: Dari semua negara yang pernah Anda kunjungi, perempuan mana yang paling cantik?

PRAM: Dari Cina [tertawa].

PLAYBOY: Ada apa dengan perempuan Cina? Apa karena Cina di masa muda Anda adalah Cina yang sedang membentuk jati diri nasionalismenya?

PRAM: Di antaranya. Dinamika dalam masyarakatnya.

PLAYBOY: Dalam Hoakiau di Indonesia Anda memhantah anggapan sebelumnya tentang kolonialisme mengistimewakan masyarakat etnis Cina. Sekarang, etnis Cina teristimewakan secara ekonomi tidak?

PRAM: Mereka itu punya produktivitas yang lebih dari pribumi. Ini yang membuat mereka jadi bersinar. Bukan hanya Cina di sini. Cina di negerinya sendiri. Produktivitasnya lebih hebat.

PLAYBOY: Pernah merasa malu jadi orang Indonesia?

PRAM: Saya bangga jadi orang Indonesia. Sebab seorang diri saya menulis. Dan itu yang mendapat berkahnya bangsa. Saya nggak merasa kecil hati sebagai anak bangsa. Saya merasa berjasa. Karya sudah diterjemahkan.

PLAYBOY: Tapi Anda diasingkan kc Pulau Buru tanpa ada pengadilan dulu?

PRAM: Bukan suatu kesalahan jadi anggota Lekra.

PLAYBOY: Kekuasaan belum berpihak pada kesejarahan yang benar, berarti bangsa ini akan tetap hegini?

PRAM: Itu bagaimana yang membuatnya saja. Sejarah itu kan, pribadi-prihadi yang bikin. Terserah yang bikinnya saja. Ya kalau kekuasaan nggak memperhatikan sejarah, publik yang memperhatikan. Itu nggak bisa dilarang, hak publik. Setiap terpelajar mulailah mendokumentesikan sejarah. Supaya setiap saat punya bahan yang bisa dipakai. Tanpa dokumentasi, gerayangan saja. Dan mendokumentasi itu belum merupakan tradisi Indoncsia. Mesti dimulai.

PLAYBOY: Kenapa Anda sangat bersemangat dalam hal sejarah?

PRAM: Lihat. Bangsa Indoncsia itu praktis belum memulai mcndokumentasi sesuatu. Bagaimana tahu sejarah? Wong sumbernya di situ. Mendokumentasikan berita koran, belum jadi tradisi. Saya mulai memang, tapi belum jadi tradisi. Kita nggak belajar dari Barat. Kurang belajar dari Barat. Sehingga tentang Indonesia, orang Barat yang nulis. Yang perlu itu, kebutuhan untuk jadi bangsa yang modern. Bahkan kita nggak memerlukan tradisi warisan nenek moyang scndiri. Semua menjadi beban. Lebih baik dibuang saja. saya sendiri sudah memhuang Javanisme dalem diri saya.

PLAYBOY: Tapi kan manusia suka romantisme masa lalu?

PRAM: Itu hak seiiap orang untuk suka ini, suka itu. Tapi, perlu atau nggak. Yang kita perlukan itu yang akan datang. Dan ini perlu kesiapan.

PLAYBOY: Apa hal dari Kejawaan yang anda rindukan? Wayang misalnya>

PRAM: Saya nggak suka wayang. Pertama, itu bukan Jawa, tapi India. Wayang sudah berhenti sejak umur 17-an, karena nggak ada. Saya pindah ke Jakarka kan nggak ada. Saya ingin mendengar gamelan. Itu ada kasetnva, tapi nggak ada vang memasangkan.

PLAYBOY: Kenapa gamelan?

PRAM: Rindu saja. Itu sejak kecil musik saya gamelan. Gamelan itu merupakan mahkota. Saya puluhan tahun nggak dengar gamelan.

PLAYBOY: Banyak vang menganggap dalam Arok Dedes, Ken Arok sebagai simholisasi karakter Soeharto. Apa yand sama dan apanya yang tidak?

PRAM: Lhoo nggak tahu saya. Siapa yand bikin? Bukan saya yang membandingkan.

PLAYBOY: Menurut Anda, sama?

PRAM: Soalnva bukan sama. Harto masih hidup, Arok sudah nggak ada [tertawa].

PLAYBOY: Mungkin orang melihat kesamaannya, dalama pendkhianatannya?

PRAM: Soeharto orang yang nggak mau bertanggungjawab terhadap perbuatannya sendiri, sampai sekarang. Perebutaan kekuasaan saja.

PLAYBOY: Tidak ingin bertemu Soeharto?

PRAM: Nggak mau saya. Tapi dia pernah kirim surat. Dia bilang, kesalahan itu manusiawi. Tapi kita harus punya keberanian untuk yang benar dan dibenarkan.

PLAYBOY: Bagaimana pandangan Anda terhadap penguasa sekarang?

PRAM: Saya nggak percaya sama yang berkuasa. Nggak tahu besok atau lusa. Sampai sekarang, saya nggak percaya. Saya menulis untuk mengagungkan kemanusiaan, musti menyingkirkan kekuasaan yang sewenang-wenangnya.

PLAYBOY: Pada kekuasaan seperti apa Anda akan percaya?

PRAM: Yang benar. Apa yang diinginkan rakyat. Persoalannya, kita ini, sesudah Soekarno, nggak punya pemimpin. Yang ada ngelantur ke mana-mana. Nggak ada pemimpin. Pemimpin, bukan pembesar. Angkatan muda yang begitu banyak berkorban, dari reformasi sampai menggulingkan Sueharto, kok nggk melahirkan pemimpin? Aneh sekali. Begitu banyak korbannya. Selaman angkatan muda nggak melahirkan pemimpin, ya begini terus. Saya pernah anjurkan supaya angkatan muda membuat Kongres Nasional Pemuda. Supaya di situ terlihat siapa nanti yang bakal jadi pemimpin.

PLAYBOY: Orde Baru juga membandun membangun gerakan pemuda dengan caranya sendiri. Kalau masih sebagai alat politis juga?

PRAM: Ini dunia. Bukan sorga. Ada yang baik dan yang jelek. Berkembang bersama-sama.

PLAYBOY: Menurut Anda sejarah kepemimpinan kita berhenti sampai Soekarno?

PRAM: Soekarno itu suatu contoh. Dia menguasai persoalan budaya, politik, geografi. Sekarang ini geografi nggak dapat perhatian apa-apa. Persoalannya, ini tanah air lebih banyak lautnya daripada daratnya. Itu sudah masalah. Dan kekuasaan di lauf nggak punya. Kekuasaan di darat terus. Belum pernah ada pernyataan Indonesia itu negara maritim. Belum pernah ada.

PLAYBOY: Soekarno satu-satunya pemimpin ideal di mata Anda. Tapi, karena Hoakiau di Indonesia dua memenjarakan Abda.

PRAM: Oh yang memenjarakan saya itu militer. Bukan Soekarno.

PLAYBOY: Anda masih punya dendam terhadap militer?

PRAM: Saya nggak suka militer Indonesia. Itu grup bersenjata menghadapi rakyat yang nggak bersenjata. Kalau ada perang internasional, lari terbirit-birit. Karena biasanya yang dilawan rakyat tanpa senjata. Tapi saya nggak punya dendam kepada siapapun. Semua saya anggap tantangan sport. Saya menjawabnya, dengan menulis. Itu yang saya bisa. Dan sekarang sudah diterjemahkan ke dalam 42 bahasa karya-karya saya. Seluruh dunia, kecuali Afrika yang belum pernah diterjemahkan.

PLAYBOY: Mendendam kepada pembakaran dan perampasan karya Anda dulu?

PRAM: Wah, saya nggak bisa memaafkan. Yang dibakar aja delapan. Belum yang hilang di penerbit-penerbit. Nggak tahu kok, sejarah saya sejarah perampasan. Nggak ngerti saya. Ini pendengaran saya juga hilang. Ini kerjaan militer juga, yang bikin saya setengah tuli. Dihajar pakai popor senapan.

PLAYBOY: Anda sakit hati?

PRAM: Itu semua saya sekali lagi terima sebagai tantangen sport. Rumah dirampas sejak tahun ‘65 sampai sckarang. Nggak ngerti saya, orang kok bisa begitu. Dan perpustakaan yang dikumpulkan puluhan tahun, dibakar begitu saja. Saya nggak ngerti orang bisa begitu. Belum naskah asli delapan yang belum sempurna, dibakar. Ini nggak bisa saya maafkan.

PLAYBOY: Setelah itu habis, Anda pernah berusaha menuliskannya lagi?

PRAM: Nggak bisa. Mood-nya sudah lain. Nulis lagi nggak bisa. Perpustakaan dibakar. Salahnya apa? Saya mengumpulkan satu demi satu belasan tahun itu, tapi sekarang sudah ada lagi perpustokaan di lantai tiga, kalau mau lihat.

PLAYBOY: Pandangan Anda terhadap anak-anak Soekarno?

PRAM: Nggak ada istimewanya. Tidak seperti bapaknya. Ke sini pun pada nggak.

PLAYBOY: Anda dekat dengan Soekarno?

PRAM: Kadang-kadang ngajak ketemu. Dia juga tidak kenal saya. Pernah nanya, Mas Pram Islamolog ya? [tertawa].

PLAYBOY: Ada anggapan negara ini teralu besar untuk dipertahankan sebagai negara kesatuan. Menurut Anda?

PRAM: Ini secara geografi, Indonesia itu memang satu. Dulu namanya Nusantara waktu Majapahit. Waktu Singasari, Dipanatara. Dipa itu benteng. Renteng antara dua benua. Nusantara, kepulauan antara dua benua.

PLAYBOY: Kalau Indonesia menjadi negara federasi?

PRAM: Itu terserah kehendak publik. Cuma, kalau federal ya aturannya jadi banyak sekali. Sctiap daerah punya aturan sendiri.

PLAYBOY: Anda juga sering protes soal nama Indonesia.

PRAM: Persoalannya yang menamai [Indonesia] itu Inggris.

PLAYBOY: Harusnva?

PRAM: Nusantara saja cukup. Atau Dipantara.

PLAYBOY: Katanva, Bumi Manusia sudah dibeli right-nya. Konon, Oliver Stone mau mengambil hak untuk filmnya. Kenapa Anda menolak?

PRAM: Cuma US$60 ribu [tertawa].

PLAYBOY. Tapi, Anda menjualnva ke seorang pengusaha Indonesia?

PRAM: Itu satu setengah milyar. Dan harus tunai.

PLAYBOY: Jadi persoalannya cuma karena harga. Tapi kan magnitude-nya berbeda kalau Hollywood yang membeli?

PRAM: Tcrserah pembuatnya saja. Saya nggak mencampuri itu. Haknya pembeli.

PLAYBOY: Selain Bumi Manusia, yang sudah dibeli film right-nya, apalagi?

PRAM: Ini yang sedang dalam pcmbicaraan itu, Mangir. Tapi saya nggak ingat siapa orangnya. Nama-nama dan angka sulit saya ingat.

PLAYBOY: Punya harapan terhadap film itu kalau,jadi nantinya?

PRAM: Terserah. Itu hak pcmbeli.

PLAYBOY: Kalau karya Anda difilmkan, punya keinginan untuk menontonnya dulu sebelum mcninggal?

PRAM: Sulit melihat saya. Nggak lahu ini mata, kok mengganggu saya.

PLAYBOY: Bagaimana Anda melihat kondisi penulis sekarang?

PRAM: Pengalaman hidup lain dari penulis-penulis haru ini. Jadi, rasa-rasanya ya kurang sreg gitu [tertawa].

PLAYBOY: Terakhir Anda baca apa?

PRAM: Wah sudah sulit saya haca. Paling koran dan kliping. Buku ya selintas saja. Matanya sudah sulit untuk melihat. Inilah anehnya jadi tua [tertawa]. Pikun. Kacamata dicari-cari tahunya dipakai.

PLAYBOY: Puisi?

PRAM: Nggak pernah. Satu puisi yang pcrnah saya baca, karya Chairil. Hidup saya prosais. Walaupun dulu pernah buat dua, tiga puisi. Nggak ada kesan. Kecuali karya Chairil yang “Aku”. Pada waktu itu pendudukan Jepang yang kejam sekali. Dan Chairil menantangkan. ‘Saya binatang jalang. Dari kumpulannya terbuang.’ Itu kan menolak Jepang. Dia nggak mau jadi budaknya Jepang. Sajak itu membuat ditangkap Polisi Militer Jepang. Tapi dilepas lagi. Luar biasa itu. Menantang kekuasaan militer Jepang.

PLAYBOY: Ada yang menganggap Chairil tidak bisa menulis, menurut Anda?

PRAM: Dia kan terlampau muda matinya. Saya pernah ketemu sckali saja di atas keretaapi, di Karawang. Dia megangin tangan temannya. ‘Kau yang bertanggungjawab ya. Kau yang bcrtanggungjawab ya.’ Mungkin takut dia. Karawang kan pusat Laskar Rakyat.

PLAYBOY: Selain kliping, apa lagi yang biasanya Anda kerjakan di rumah ini?

PRAM: Bakar sampah. Pagi biasanya setengah lima saya bangun. Masih sepi semua dan belum tentu ada kopi. Saya nempel-nempel kliping. Sudah ada delapan meter mungkin kliping. Jadi nanti kalau oranq cari apa-apa, klipingnya sudah disusun menurut abjad. Dan saya rasa nggak ada yang bikin kliping. Itu nanti siapa saja boleh kalau mau cari informasi di kliping. Tapi masalahnya geografi saja. Saban hari bertambah.

PLAYBOY: Apa kenikmatan membakar sampah?

PRAM: Ada kenikmatannya, aku bisa bilang: ‘lihat, aku bisa hancurkan kau!’ [tertawa].

PLAYBOY: Selain kliping dan bakar sampah, apa lagi yang Anda kerjakan?

PRAM: Jalan. Mondar-mandir. Membetulkan cabang-cabang yang nggak perlu, dibabat. Saya senang di sini, nggak terganggu keributan kota. Melihat ke sana lihat rumput, lihat kolam ikan, kolam renang. Nggak ada keinginan apa-apa lagi.

PLAYBOY: Siapa yang mengajak Anda pindah ke sini?

PRAM: Ada orang dekat menawarkan tanah. Saya mau karena jauh dari Jakarta. Nggak kuat saya di Jakarta. Di sini sejuk. Anginnya sehat. Jakarta itu air tanahnya sudah campur tai semua. ltu masalah pokok. Belum macetnya. Belum kejahatannya. Sepanjang jalan kejahatan melulu.

PLAYBOY: Kenapa tidak kembali ke Blora?

PRAM: Nggak. Kalau pulang kc Blora, ingat kesedihan waktu kecil. Jam setengah lima sudah harus belanja ke pasar. Pulang terus sekolah. Pulang sekolah, cari kayu bakar. Ngurus kambing, ngurus adik-adik. Apalagi waktu orangtua meninggal semua. Semua jatuh ke tangan saya, sebagai anak pertama. Nyekolahkan, kasih makan.

PLAYBOY: Masih ingat tulisan pertama Anda?

PRAM: Kan sudah dibakari militer. Ada waktu di SD saya nulis naskah. Saya kirim ke penerbit Kediri, Tan Kun Shui. Ditolak [tertawa]. Ceritanya macem-macem. Nggak bisa mengingat lagi. Ya itu pembakaran tahun ‘65. Kehilangan banyak naskah.

PLAYBOY: Tidak pernah mcncoba rokok selain Djarum?

PRAM: Nggak. Kebiasaan saja. Ini Djarum asbaknya. Pernah coba rokok putih. Nggak cocok.

PLAYBOY: Sewaktu di Pulau Buru kan tidak selalu bisa beli rokok?

PRAM: Menanam sendiri tembakaunya. Kerasnya persetan. Dan kulitnya, kalau nggak ada kertas, Injil segala dipakai [tertawa].

PLAYBOY: Di Pulau Buru, tahanan hanya boleh membaca buku agama. Bagaimana rasanya membaca buku tentang hal yang tidak Anda percaya?

PRAM: Ya makin tidak percaya [tertawa].

PLAYBOY: Hasil membaca buku tentang Hindu dan Budha melahirkan Arok Dedes. Kenapa tidak ada buku hasil refleksi Anda tentang hubungan Islam dan Kristen?

PRAM: Waktu itu belum jadi persoalan. Belum ada Kristen-Islam.

PLAYBOY: Selama di Pulau Buru, tidak pernah memikirkan kebutuhan biologis?

PRAM: Nggak berbuat apa-apa. Diterima saja semuanya sebagaimana adanya. Semua kan dicurahkan pada tulisan.

PLAYBOY: Apa yang paling tidak bisa Anda lupakan dari Pulau Buru?

PRAM: Banyak. Antaranya saya menemukan mangga di pinggir kali. Lantas, saya kembangbiakkan. Jadi banyak. Nanti kalau ke Buru, ada pohon mangga, ingat saya [tertawa]. Tadinya nggak ada di pedalaman. Saya melihara ayam delapan. Telornya itu untuk beli rokok, beli kertas, beli karbon di pelabuhan. Karena saya kan di pedalaman. Dan saya senang sekali, sekarang Pulau Buru jadi gudang beras Maluku. Pekerjaan kami itu. Jalanan kami bikin sepanjang 175 km. Belum sawahnya. Belum irigasinya. Belum ladangnya. Kalau sore itu udaranya dihiasi pelangi. Kalau hujan, air dengan keras turun ke bawah. Ikan melawan arus air hujan. Tinggal tangkap saja. Berkarung-karung itu [tertawa].

Sumber: PLAYBOY, Edisi I, April 2006
By kiki kurniawan October 4, 2006
 
posted by p.a.t_nurdayah at 17:16 | Permalink | 0 comments
Pram di New York
Pramudya Ananta Toer di New York. Bagaimana kita pernah membayangkan ini? Di tengah Park Avenue tulip bermunculan kembali-tiap tahun seperti tak disangka-sangka-dengan rapi, seakan kembang plastik. Ini akhir April. Di dalam Gedung Asia Society di tepi avenue itu, di auditoriumnya yang penuh sesak, orang memandang ke pentas: Pramudya Ananta Toer di New York. Sesuatu yang lebih tak terduga. Orang sadar bahwa di panggung yang tertata itu, ada sesuatu yang datang dari sebuah pengalaman yang suram.

Pram mengenakan jas Nehru abu-abu, rambutnya yang memutih dan gondrong tersibak ke belakang. Dalam umurnya yang lebih dari 70 tahun, ia tampak kuat, langsing, tegak. Suaranya besar dan mantap, dengan getar di sana-sini. John MacGlynn, penerjemahnya, duduk di dekatnya, dekat sekali ke telinga Pramudya yang pekak, untuk setiap kali menyalin percakapan ke dalam bahasa Inggris atau sebaliknya. Di sebelah kiri Pramudya, Mary Zurbuchen, mengajukan beberapa pertanyaan dalam sebuah interview yang menarik, sebelum Pramudya menghadapi hadirin.

Pernahkah kita membayangkan ini? Mungkin kita akan mengatakan, sejarah memang sebuah proses dari keadaan terbelenggu ke arah keadaan merdeka-dan riwayat hidup Pramudya Ananta Toer melukiskan itu. Di zaman perang kemerdekaan ia ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Di zaman “Demokrasi Terpimpin” Soekarno ia dipenjarakan tentara, karena bukunya Hoakiau di Indonesia. Di zaman “Orde Baru” ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Dan kini, tahun 1999, ia mendapatkan paspornya, ia seorang yang merdeka kembali, dan ia berangkat ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang tak pernah dikunjunginya-dan ia disambut.

Tetapi benarkah sejarah punya narasi selurus itu? Di Pulau Buru, tempat ia diasingkan selama 13 tahun beserta 12.000 tahanan politik lainnya, sebuah gulag yang dikurung oleh laut, sebuah kamp yang dikitari savana dan diselang-selingi rawa, barangkali yang bertahan hanya ide bahwa kelak manusia akan bebas. Terutama jika orang mempercayai Hegel dan Marx-seperti mempercayai eskatologi bahwa surga akan datang kelak di kemudian hari karena itulah janji Tuhan. Tetapi jika kita baca catatan-catatan Pramudya yang kemudian dihimpun di bawah judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, yang di Amerika tahun ini diterbitkan sebagai The Mute’s Soliloquy, barangkali yang tebersit di sana bukanlah eskatologi itu, bukan Hegel bukan pula Marx, melainkan sebuah “pesimisme pemikiran, optimisme kehendak”.

Kalimat ini datang juga dari keadaan terpenjara: yang menuliskannya seorang Marxis yang orisinil, Antonio Gramsci, dari selnya di Italia di tahun 1930-an. Mungkin itu pulalah yang juga terjadi di Buru. Pram menuliskan catatannya dan kemudian menyembunyikannya, tanpa harapan bahwa semua itu akan dibaca. Tetapi, seperti dikatakannya kepada Mary Zurbuchen, ia ingin agar ada kesaksian bagi anak-anaknya-yang terpisah dari dirinya selama bertahun-tahun itu-bahwa “mereka pernah punya seorang ayah”.

Ancaman dari waktu adalah ketidaktahuan yang berlanjut atau lupa yang kemudian terjadi. Mengetahui, dalam melawan ancaman waktu itulah hal yang penting bagi Pram. Ia tak tahu apakah ia akan menang. Akalnya mengatakan kemenangan baginya mustahil. Tetapi ia tak hendak menyerah. Ia menulis sederet novel sejarah.

George Orwell pernah mengatakan bahwa bentuk novel adalah yang “paling anarkis” dalam kesusastraan. Orwell benar, sepanjang sifat “anarkis” itu diartikan penampikan novel kepada segala yang ortodoks dan mengekang. Tetapi pada sisi lain, novel-seperti yang ditulis oleh Orwell dan Pramudya, terutama novel sejarah itu-mempunyai dorongan yang dekat dengan kehendak “mengetahui”. Dan “mengetahui” bukanlah sesuatu yang bisa terjadi dengan anarki; mengetahui adalah proses yang tertib.

Dalam novel, sejarah memperoleh alur, mendapatkan bentuk. Mungkin bukan sebuah alur Hegelian (bahwa sejarah akan berakhir dengan kemerdekaan), tetapi bagaimanapun bukan sesuatu yang acak-acakan. Haruskah dengan pandangan demikian ini pula kita melihat cerita hidup Pramudya sendiri: dari sebuah pulau buangan yang jauh di Maluku, sampai dengan ke Amerika Serikat, sebuah negeri yang-seperti diakuinya malam itu-punya kontribusi besar, berkat Presiden Carter, dalam pembebasannya dari Pulau Buru?

Salah satu yang sering mengagetkan dalam sejarah ialah bahwa ia ternyata bisa mengagetkan. Banyak hal berlangsung bukan semata-mata karena progresi yang seperti hukum itu, bukan karena perkembangan sebuah struktur sosial, bukan pula takdir, melainkan karena tindak manusia. Dari saat Pramudya ditahan sampai dengan saat Pramudya di New York telah berlangsung sebuah periode yang begitu mencengkeram: Perang Dingin. Perang Dingin, yang membagi dunia menjadi dua sejak akhir 1940-an, antara “komunis” dan antikomunis”-seakan-akan itu sebuah pembagian yang kekal-tak disangka-sangka berakhir ketika Mikhail Gorbachev mengambil keputusan yang semula tak terbayangkan di tahun 1989: Uni Soviet harus berubah, dan Tembok Berlin diruntuhkan.

Smiley, tokoh utama John Le Carre yang muncul kembali dalam The Secret Pilgrim, mengatakan itu dengan secercah rasa kagum: “Manusialah yang mengakhiri Perang Dingin itu, kalau kau belum mengetahuinya. Bukan persenjataan, atau teknologi, atau tentara atau serangan. Manusia, itu saja. Dan bahkan bukan manusia Barat… melainkan musuh bebuyutan kita di Timur, yang turun ke jalan, menentang peluru dan tongkat polisi dan berkata: Sudah cukup. Kaisar merekalah, bukan kaisar kita, yang berani naik ke panggung dan mengatakan bahwa ia tak berpakaian.”

Kaisar yang berani, rakyat yang bertindak…. Manusia belum mati-mungkin itulah yang akhirnya harus dikatakan, sebuah kabar gembira untuk Pramudya, tentang Pramudya. Setidaknya ketika musim dingin ketidakbahagiaan kita berakhir, dan tulip dan magnolia muncul, setidaknya sampai musim gugur tiba kembali.

Goenawan Muhamad
~"Pram"__Majalah Tempo No 08, 27 Apr-3 Mei 1999~

::>>>>>>>::



 
posted by p.a.t_nurdayah at 17:15 | Permalink | 0 comments
Pram di Karet Bivak
Jasad Pramoedya Ananta Toer diturunkan ke liang lahat. Tanah diuruk. Saat itu, sekitar pukul empat sore, separuh langit Jakarta gelap, udara hamil hujan—seakan-akan persiapan adegan akhir perkabungan di Karet Bivak itu. Sebuah lagu tiba-tiba terdengar, di-nyanyikan bersama dengan khidmat, terutama oleh mereka yang muda:

Di negri permai ini
Berjuta Rakyat bersimbah rugah
Anak buruh tak sekolah
Pemuda desa tak kerja…
Mereka dirampas haknya
Tergusur dan lapar

Kalimatnya lurus dan marah, tapi Darah Juang tak berteriak, bahkan agak melankolis: ”Bunda, relakan darah juang kami…” Suasana apa yang melahirkannya? Murung seperti sore itu?

Beberapa aktivis muda membisikkan kepada saya bahwa- lagu itu digubah oleh dua mahasiswa di daerah Gejayan, Yogyakarta, pada suatu malam sehabis rapat merencanakan aksi, pada tahun 1991, ketika rezim Soeharto masih kukuh, ketika ketakutan masih merajalela, dan kekuatan penentang, kalaupun ada, lemah dan kusut.

Optimisme terasa dibuat-buat dari suasana seperti itu, tapi harapan tidak. Dari harapan yang tersembunyi—-dengan bahasa yang menyatakan sakit dan miskin, rindu dan dendam—sastra lahir, politik lahir. Juga pahlawan. Bagi anak-anak muda yang ingin membuat Indonesia le-bih adil dan merdeka, Pramoedya adalah pahlawan yang pas; sang penggubah epos adalah sebuah epos tersendiri: di kamp tahanan yang jauh dan bengis, ia tulis empat-serangkai novel sejarah Indonesia ketika beribu-ribu orang hendak dimusnahkan dari kenangan kolektif, ketika kata ”kemerdekaan” membuat saat jadi genting.

Dari sini Pram memang bisa jadi suluh.

Dalam hal itu, Indonesia tragis tapi mujur: begitu banyak- orang dibasmi dan dilupakan di negeri ini, tapi sebuah ge-nerasi tak hanya menggantikan generasi sebelumnya; ia juga mendapat inspirasi. Dengan itulah sebuah transisi alamiah (ada yang pergi, ada yang datang) jadi jalinan gerak sejarah. Pramoedya adalah penyambung jalinan itu.

Mungkin awalnya adalah Blora. Dalam Cerita dari Blora, yang terbit pada awal 1950-an, Pram menghadirkan ”aku” yang mengenang tokoh ”ayah”: seorang yang bersungguh-sungguh ikut menumbuhkan benih kemerdekaan, seorang yang yakin kemerdekaan sama artinya dengan ”Indonesia”, seorang saksi bahwa ”Indonesia” yang belum datang itu telah begitu kuat menggerakkan hati.

Pada tahun 1930-an itu Blora berubah. ”Di waktu-waktu itu nampak… olehku adanya kegugupan yang meraba kehidupan kota kecil kami,” kata si anak yang mengenang. Orang beramai-ramai mendirikan perkumpulan sepak bola dan kesenian, meskipun sebenarnya ”kegugupan” itu ”kegugupan” politik: gema ”kebangunan Asia” terdengar, aktivis pergerakan nasional seperti Soekarno datang dan berbicara, dan para pandu menyanyi Di timur matahari mulai bercahaya.

Dalam suasana itu, si ayah mendirikan sebuah sekolah dan rumah itu jadi pusat pergerakan. Orang datang untuk sekadar bertanya, atau belajar baca-tulis, atau ikut ”kursus politik”, ”kursus guru”, menyiapkan diri jadi pendidik…. ”Tiba-tiba saja rumah kami merupakan kantor. Semua mesin ketik berdetak-detak.”

Tapi itu tak lama. Polisi kolonial telah mengawasi me-reka. Akhirnya sepucuk surat datang dari ”gubermen”: kegiatan itu harus disetop. Buku-buku disita, listrik di tempat para murid belajar dicabut. Sejak itu rumah itu sepi. Sejak itu paras si ayah muram. Sejak itu ia hampir- tak pernah pulang, menghabiskan hari-harinya berjudi-—seperti ayah yang meninggal dalam novel Bukan Pasar Malam. Bahkan ketika satu orok lahir lagi, si ayah tak ada. Memang akhirnya lelaki itu muncul menengok si bayi, tapi si ibu berkata, ”Dia takkan mendapat apa-apa dari kau. Juga tidak dari tempat dan zamannya. Dia akan tumbuh sendiri.”

Zaman itu adalah ”zaman senja yang mengayunkan dan kadang-kadang mengejuti”, tulis Pramoedya, dengan struktur kalimat yang ganjil, dengan akhiran kan dan i yang salah tempat, seakan-akan gagap. Kalimat penutupnya seperti sederet klise: ”Tapi matahari akan terbit lagi di ufuk timur”.

Tidakkah kegagapan dan klise itu menunjukkan bahwa si anak belum memperoleh bahasanya sendiri untuk meng-atasi kemurungan ingatannya? Sampai ia meninggal, Pra-moe-dya masih murung; ia menatap dengan getir sejarah Indonesia. Pelbagai wawancara terakhirnya mengesan-kan itu. Tapi nada marahnya mungkin sebuah keteguhan: suara seorang yang tak ”mendapat apa-apa” dari ”tempat dan zamannya”, tapi percaya, ”dia akan tumbuh sendiri”.

Ia memang pewaris humanisme yang kekar—humanisme Ontosoroh, tokoh Bumi Manusia. Dalam prosa Pram, pikiran, emosi, dan gerak manusia mengambil alih ham-pir- seluruh adegan; alam hanya hadir secara minimal. Tiap kalimat seakan-akan pergulatan ”aku-manusia” yang susah payah tapi gigih mengatasi ”rumah-penjara bahasa”-, pergulatan yang tak jarang membuat ungkapan Pram terasa kaku tapi kukuh.

Pergulatan bisa melahirkan kemerdekaan, meskipun humanisme yang mengagungkan kedigdayaan insani sering akhirnya gagal membebaskan manusia. Tapi yang gagal tak berarti bersalah. ”Kalau yang buruk jua yang datang, sesungguhnya memang bukan urusan kita lagi,” kata si ibu kepada suaminya.

”Kalau yang buruk jua yang datang….” Mungkin ibu itu sadar akan batas-batas manusia.

Sore itu, hujan mulai jatuh di pemakaman. Orang-orang mengangkat tangan kiri memberikan salut pengha-bis-an kepada Pramoedya Ananta Toer. Internasionale dinyanyikan.

Sejarah tak selamanya murung, ternyata, meskipun tak selamanya ceria. Kini orang bebas menyanyikan lagu ”komunis” itu—meskipun mungkin ada juga rasa ngilu: dulu nyanyian itu pernah jadi lambang janji masa depan; kini ia seakan-akan hanya bagian dari masa lalu.

Tapi selalu ada yang menggetarkan dalam nostalgia. Selalu ada yang menggetarkan dalam kisah perjuangan yang tak sampai, tapi berharga.

Goenawan Muhamad
~"Paramoedya__Majalah Tempo Edisi. 11/XXXV/08 - 14 Mei 2006 ~

::>>>>>>>::
 
posted by p.a.t_nurdayah at 17:02 | Permalink | 0 comments